Denting Nada di Ujung Kata

Oleh Irman Syah

Awalnya, judul tulisan ini adalah ‘Denting Bunyi Di Ujung Nada’, tapi setelah didialogkan dengan Ane Matahari maka jadilah judulnya seperti di atas. Benar juga rupanya, ada bunyi yang bedenting ketika kata mencuat mengakhiri nadanya. Kadang menaik, kadang menurun dan malah mendatar ataupun berkelok liku tapi tetaplah menjadi nada dengan bunyi yang mengalir pada wilayah ekspresi dan penekanan makna yang dikandung inti kata berdasarkan  kalimatnya.

‘Denting Nada Di Ujung Kata’ adalah esai pertama bulan Januari, tepat di awal tahun 2014. Ya, tahun yang disimbolkan dengan kuda itu tentulah akan diterjemahkan dengan beragam oleh manusia. Salah satu kemungkinannya adalah keseksian, keperkasaan dan enerjiknya. Jadi, hidup di tahun ini memang membutuhkan orang-orang yang seksi, perkasa dan enerjik dalam segala hal. Andai bukan, tentu akan terperangkap dalam ketertinggalan langkah serta mesti disusul lagi oleh derap kaki yang barangkali bisa diperoleh dengan susah payah.

Begitulah kira-kira. Ya, ini hanya sebuah tafsiran atas semiotika yang juga tak mesti dipercaya. Di tahun apa pun, sesungguhnya semangat dan usaha yang maksimal tetap saja amat menentukan, bukan hanya di tahun kuda saja. Jadi, adalah hal lumrah saja jika kita, manusia Indonesia, dituntut untuk selalu berusaha dan tetap berkarya semaksimal mungkin dengan ragam bunyi dan derap yang mesti sejalan. Ada kebersamaan yang membuat kita jadi utuh dan menghasilkan perolehan nilai atas niat yang telah ditanamkan sebelumnya. Ini merupakan keutamaan yang semestinya. Meski jarang yang melakukannya, tetap tanamkan ia sebagai dasar yang mengada.

Nilai kebersamaan itu laksana prosesi komposisi nada, seperangkat kata dan usaha dalam bentuk tingkah laku yang tertata dari genggaman tangan beragam  manusia yang tetap dalam ketulusan dan kejujuran dengan tujuannya yang sempurna. Analogi tersebut bisa disebut pula dengan tradisi  nenek moyang yang hampir hilang, yakni gotong-royong. Begitu mahal dan sulitnya kini kita untuk menemukannya, apalagi pada zaman yang kian serba ‘posmo kultural’, sebagaimana kondisi komunikasi yang membah dan menghanyutkan segala macam tatacara dan kebiasaan yang berguna.

Begitu banyak orang yang telah kehilangan kebersamaan dan hidup dengan kekeringan rasa dan pikirnya. Semua telah mengasah kepala tanpa memelihara lidah dengan cita rasanya. Bahkan saudara sendiri pun akhirnya terasa menjadi orang lain. Andai ini tidak begitu disadari, maka kehidupan ke depan akan selalu membuahkan perceraian. Perpisahan yang menyakitkan bagi generasi sesudahnya. Akan jarang mereka tahu dari mana usal-usul keluarganya, cuma keusilan yang muncul dari mulutnya yang asing ketika bicara dan mengungkapkan biodata.

Bahasa yang kini jarang tergunakan karena tersebab kesamaan, tak berbatas lagi mana sawah dan mana pematangnya, maka semuanya pun menjadi teman. Tak ada lagi bahasa mendaki yang bisa dihaturkan sebagai rasa hormat dan pujian terhadap yang tua, tak ada lagi bahasa menurun yang dihaturkan sebagai didikan dan ilmu kehidupan bagi anak dan kemenakan, apalagi kata ‘melereng’ (=miring dan berliku) yang berupa kiasan dalam usaha memberikan perbandingan, maka hidup yang dijalani pastilah akan monoton, kaku dan verbal.

Dengan begitu kehilangan pun semakin terasa, tentu takkan ada lagi nada yang menimpali pola laku untuk menjadikannya sifat atau tabiat yang sama dan sebangun dalam membangun harmonisasi. Begitu jauh jadinya irama, begitu lengang jadinya hidup yang dijalani, begitu miskin hati di dada karena perpisahan rasa dan kepala bagai penggalan yang tiada tara. Barangkali hanya kesenian yang mempu memeliharanya, mengucapkan nada semisal  kata dengan bunyinya yang sempurna. Itu pun kalau masih bersahaja.

Kalaulah kesenian yang muncul cuma tersebab event, maka yang muncul tentulah berupa proyek yang mesti diambil atas nama kepentingan dan angka-angka, tapi jika ia berupa proses, banyak hikmah yang dikandungnya, maka nilai kebersamaan pasti ada di dalamnya. Sayangnya, tak banyak lagi ditemukan tempat berdiamnya. Padahal dengan usaha semacam itu akan ditemukan rasa bermain, sentuhan makna dan ucapan. Kata dan nadanya akan menjadi kuat dalam mengemban makna.

Demikianlah, komunikasi yang jalin-menjalin itu tentu akan semakin fasih mengungkapkan kenyataan yang keras dengan kelembutan penyampaiannya dan akan mampu memberikan cahaya dan jalan keluar dari tirani atas kesempitan dan kesusahan hidup yang kian merata. Sayangnya, kini semua telah terbius, semua ingin serba cepat, akhirnya instan, serta efektif dan efisien kian merambah hidup tanpa aturan, padahal kata itu sendiri bukanlah milik bangsa sendiri tapi entah kenapa terasa sekali kian diminati.**

RoKe’S, 2 Januari 2014



Share:
spacer

1 comment:

  1. Trik baru cara mendapatkan dollar dengan cepat dengan adf.ly klik ---> http://adf.ly/bs5cv

    ReplyDelete

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI