Salah di Ujung, Balik ke Pangkal

Oleh Irman Syah

Jauh sudah perjalanan negeri dalam kelok liku kehidupan. Beragam pula persoalan yang tumbuh dan menggejala sehigga hidup menjadi kumpulan perasaan, pikiran dan ingatan: berurat-menjalarlah kenyataan yang memunculkan penyesalan ulah niat dan arah tujuan yang jalan bersimpangan.

69 tahun sudah usia kemerdekaan negeri ini dan catatan perjalanan tentunya menjadi jabaran kenyataan sesungguhnya dalam ruang lingkup perkembangan serta pertumbuhan nilai atas laju landasnya kehidupan. Langkah gerak dan tapakan masalalu itu sudah semestinya dapat dijadikan cermin kesadaran yang memunculkan raut rupa di wajah zaman.

Alam lapang, langit yang membentang telah menaungi kehidupan manusia, tingkah polah serta prilaku hidup takkan pernah lepas di mata Tuhan. Untuk itu nikmat dan anugerah kebersamaan semestinya sudah diterima rakyat secara merata dalam kehidupan bangsa di negeri ini atau di mana saja di dunia, bukan hanya milik kelompok dan cuma dinikmati oleh segelintir orang saja.

Tak ada gading yang tak retak, tak ada keruh yang tak jernih, ya tak ada yang abadi. Begitulah, tak ada yang kekal di dunia ini kecuali kuntum bunga yang hakiki dari suara hati yang selalu mengabdi pada ilahi atas nama kesadaran diri yang tak cuma sekedar basa-basi. Ya, takkan pernah ada keabadian dan termasuk kekebalan hukum bagi penguasa di negeri ini.

Hukum yang dijadikan panglima sebagaimana dicanangkan era sekarang tentunya akan berdampak positif dalam sikap dan prilaku  kehidupan manusia Indoesia dalam membangun sportifitas profesi dan patokan nyata bagi siapa saja. Dengan begitu, semua akan rata di mata hukum. Semoga saja ini bukanlah dimaksudkan untuk menakut-nakuti saja tapi lebih utama adalah agar manusia Indonesia duduk sama rendah dan tegak sama tinggi di mata hukum.

Berpeganglah teguhlah pada tali yang mencipta ikatan dan jangan bercerai berai sebagaimana kalam yang mengajarkan. Kekhilafan yang sengaja atau pun tidak yang pernah ada sebelumnya selain telah mencipta jurang tapi secara tersirat juga telah menumbuhkan kecerdasan serta kekritisan cara pandang. Politik keamanan, pilar ekonomi, pilar sosial budaya hendaknya dapat beriringan dan sejalan dengan kenyataan kebutuhan hak hidup rakyat.

Dengan begitu barulah negeri ini memandang dan menyikapi perdamaian Asia Tenggara serta memiliki sumbangsih yang nyata agar tidak hanya sekedar berita atau semacam polesan saja bagi publisitas dunia. Diplomasi bebas aktif atas kepentingan nasional mesti tertata dengan bahasa yang ter[elihara, bahasa yang bersahaja ujud rupanya, sehingga mampu melindungi tanah dan air dengan rakyat yang ada di dalamnya.

Perayaan dan peringatan kemerdekaan hendaknya mengacu pada hakikat kenyataan negeri  hari ini, mengkritisi kenyataan yang ada untuk mewacanakan kehendak dan cita-cita bangsa yang telah berjaya mendirikan negeri. Kedaulatan dan ketuhan NKRI semestinya mengacu ke dalam terlebih dahulu untuk kemudian membangun system yang kuat dan mengakar. System Negara yang mengakar tentulah akan menjadikan Indonesia kuat, serta mampu membuktikan keindonesiaannya di mata dunia.

Bukankah ini mesti dipertahankan dengan mati-matian agar persoalan yang dialami dalam negeri mampu dihadapi dengan cara yang bijaksana. Dengan demikian, cerminan itu semua akan membangun rasa percaya dan keyakinan rakyatnya: apabila keadilan dan  kesejahteraan yang dijadikan dasar itu disikapi dan diungkapkan dengan cara yang bermartabat.

Jauh sudah perjalanan, banyak sudah yang dilihat, terangkum sudah di dalam dada. Mari ucapkan kemerdekaan dengan jalan mengembalikan ke-Indonesia-an pada harkatnya. Apalagi  lagi dengan bahasa, posisikanlah dia dengan dewasa. Dengan begitu, dengan memilih bahasa Indonesia dalam setiap aturan dan penamaan struktur dan program apa pun maka bangsa pun akan terpelihara.

Selama ini, ungkapan dan berita, talk-show dan debat apa saja, sangat tak menarik dalam kata. Kadang kesannya perbantahan yang tidak mencerminkan rasa persaudaraan. Akhirnya, semua menjadi lawan, semua menjadi musuh bebuyutan yang tak lebih dari dendam kesumat saja. Barangkali, kesahajaanlah yang perlu membuka, kedewasaan berpikirlah yang dipelihara: bila rasanya ada yang salah, pertikaian atau pun sengketa kembalikanlah pada pangkalnya, ke akar prinsip yang sesungguhnya.

RoKe’S, 15 Agustus 2014


Share:
spacer

2 comments:

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI