Membaca Alam Menyibak Badai

Oleh Irman Syah

Berangkat dari ragam persoalan yang muncul di bumi pertiwi, benak kita telah dirasuki oleh bangunan kepercayaan yang semakin tercerai-berai. Apalagi dengan pemberitaan ragam media yang sering tidak menumbuhkan kedewasaan, kewaspadaan dan kesiagaan, tapi lebih cendrung menimbulkan rasa takut dan was-was. Maka yang terlahir kemudian bagi kenyataan kehidupan serta kondisi kedirian masyarakat Indonesia adalah mempergunjingkan keadaan serta mempermasalahkan beragam kebijakan.
spacer

Bencana itu Bermula dari Bahasa

Oleh Irman Syah

TERLALU BANYAK yang mesti disebutkan perihal bencana yang menimpa negeri ini. Beragam pula jenis,  bentuk, ruang-lingkup kenyataan dan dampak yang ditimbulkannya. Yang pasti, semua itu membahasakan ungkapannya tentang nilai bangsa yang berada dalam kondisi memprihatinkan. Bangsa ini tengah berada di negeri yang kehilangan arah. Tak ada lagi garis-garis besar dan haluannya. Semua seakan telah mementingkan hal yang tak penting pada setiap tindakan, ucapan, impian, cita-cita, serta laku kesehariannya.


Dalam kondisi sakit macam ini, negeri kembali ditimpa bencana fisik yang tak kunjung reda. Semua hadir mengemuka dan letupan bencana itu pun terus berulang serta terjadi ganti berganti. Apa yang bisa dikata kalau kata-kata hanya memperkeruh kenyataan yang melanda. Kadang di sini pulalah kesabaran kurang terpelihara: semua ingin menyampaikannya, tapi hasilnya sama saja dengan menyobek baju di dada. Lebih parah lagi sampai membuat orang lain, yang juga bangsa sendiri kena dampak pedas ucapannya.

Terlalu banyak untuk dipaparkan jikalau disebutkan satu satu. Dengan begitu, tentu lebih baik bersikap dan tetap memilih setia merenungkannya. Semacam tegur-sapa. Membahasakannya kepada diri sendiri. Bukankah tegur sapa kedirian itu adalah keutuhan yang sangat bermanfaat untuk diungkapkan dalam prilaku keseharian. Hemat berbicara pun akan jadi obat untuk tidak mengumpat, apalagi membeberkan peristiwa tanpa ujung dan  pangkalnya. Maka dari itu lebih baik memelihara rohani agar tidak  mendekatkan diri pada penyesalan yang amat menyiksa.

Dalam khusyuk renungan, inti persoalan bisa muncul tak terduga. Kedekatan diri pada pencipta segala akan melapangkan jalan bagi kelahiran Bahasa dari jiwa. Nilai-nilai kehidupan akan mengemuka di depan mata dan hati pun kian bersih menerimanya. Salah dan benar jadi terpapar dengan sempurna. Tinggal memilih dan menatanya lagi dengan niat yang benar dan tulus penuh keikhlasan sebagaimana cinta mengajarkan kasih-sayang dalam rupa yang sedia kala. Begitulah niat kalau memang ditujukan jadi solusi. Tentu saja tak sekedar basa-basi.

Kehancuran negeri dari ungkapan atau letupan dan gempa di alam raya yang disebut bencana memprihatinkan itu memanglah sangat menakutkan. Itulah bahasa yang sempurna bagi yang bebal. Kematian adalah kewajaran karena kehidupan telah memulainya.  Begitu banyak yang sudah tidak ingat lagi asal-muasal: ciptaan dan keutuhan dalam ikatannya adalah syarikat yang saling kait pada mulanya, tentu pula ini akan turut dan serta menyerta. Jika salah satunya dieksploitasi, maka yang lainnya akan meruang dan ternganga. Di sanalah alam berbahasa  mendentumkannya bagi manusia, tinggal menunggu waktu saja.

Secara nyata, berdasarkan perjalanan dan hasil pandangan atau pengamatan secara konkrit atas persoalah hidup manusia yang berawal mula, atau dengan melihat tatanan yang ada dari bahasa yang pernah tercipta atas peninggalannya, ternyata telah banyak yang terlupa. Bisa juga dilupakan dengan sengaja. Ya, sebuah kehilangan yang memang seakan bersengaja. Sebagaimana Selera dan gaya yang dipaksakan karena malu dibilang kampungan. Atau bepergian ke dunia sana dalam rangka konferensi hura-hura, telah semakin membuat negeri ini jadi porak poranda, apalagi hasilnya muncul pula pada penciptaan baru yang sesungguhnya adalah contekan saja.

Tapi, seberapa lamakah prilaku itu bisa bertahan dalam kebohongan yang disengaja. Atas nama pengalaman, lambat laun terbongkar juga, dan kerinduan akan kembali pulang pada cita rasa  pada bumbu masakan ibu tercinta. Tapi, apalah artinya jika negeri yang dirindu itu telah sekarat melahap derita dari akibatnya. Efektif dan efisien pun telah digunakan tanpa akar yang sesungguhnya, Time is Money pun adalah rupa penjajahan dari bahasa dan sekaligus kapital tanpa diduga. Pengaruhnya begitu besar dalam pandangan hidup manusia Indonesia dalam usaha meninggalkan ibu pertiwinya untuk kesepian selamanya. Jual beli dan pengrusakan alam, perdagangan yang mengatasnamakan kerjasama luar negeri adalah bencana yang berawal dari bahasa dan struktur contekan yang digunakan pelaksana negara dan pasti sudah tidak sama dan sebangun apalagi senafas di tubuh negeri dan inilah yang selalu dilahap menjadi bencana.

RoKe’S, 20 Februari 2014
spacer