Bermain di Ranting-Ranting

Oleh Irman Syah

Bagaikan sebatang pohon di sebuah lahan yang subur, sejarah dan kenyataan mencerminkan dirinya dengan leluasa. Kerimbunan daun dengan banyaknya ranting yang bertunas memaksa akar untuk melahirkan buah. Ya, semacam pipa kapiler yang mempertemukan tanah dan air yang bergerak transenden untuk bertemu suara burung, awan, mendung, bulan dan bintang pada sebuah kanvas di langit tinggi.

Alam memang contoh aturan yang mewujudkan adanya penguasa semesta serta dengan segala ciptaannya. Dan manusia, semisal angka yang berkeliaran, bermain jumlah di kali, bagi, tambah, dan kurang di dalamnya dengan warna-warni impian beserta keserakahannya. Inilah pokok kehidupan yang tak bisa ditambah-kurangi dengan apa pun meski teknologi dan perkembangan zaman dan kehidupan menjulang hingga langit ke-tujuh.

Bahasa tua semacam ini jarang sekali diungkapkan oleh cerdik pandai, alim ulama atau pemimpin umat. Begitu pula pemimpin negeri. Bukankah ini tersebab kebodohannya yang nyata, padahal dia sendiri telah mengatasnamakan rakyat bagi kedudukan yang dimilikinya. Kepada apa dan siapa mereka berkaca? Sementara jalan-jalan kehidupan, nasib, takdir dan kesengsaraan kehidupan umat manusia begitu meruyak dan buas di dalam dada.

Kemiskinan jiwa merambah ke mana-mana. Kambinghitam-kambinghitam di tahun kambing ini semakin dimunculkan tanpa daya untuk menyelamatkan dirinya dari siksaan menjadi kambing-guling yang mereka pestakan setiap waktu. Di mana-mana muncul upacara, diskusi, seminar, apressiasi, konser, pengajian, pidato pengangkatan dan penurunan, penembakan dan hukuman mati, yang semuanya nyata, serta banyak lagi ragam dan rupanya.

Koordinat-koordinat dan pengkultusan lahir di sana-sini. Penghormatan dan penghargaan bermunculan baik di gedung-gedung atau di lapangan terbuka. Hanya saja, semua tak lagi ingat akan sebatang pohon, sebuah sejarah kehidupan yang dipancangkan untuk penahan angin dan topan, tempat burung bernyanyi dan membuat sarang serta tempat berteduhnya seorang  pengembara. Ya, kini, sepertinya negeri ini tak punya ukuran lagi karena memang sudah tidak punya pohon atau pokok dasar yang semacam itu lagi.

Maka berjatuhanlah hukuman di mana-mana, tertuduh dan penuduh saling berpindah kursi. Kedudukan kebenaran, kesalahan dan keadilan serta jalan keluar antara sebab dan akibatnya tak lagi sinkron dengan siklus dan pertumbuhan alam yang maha benar. Pencurian, perampokan, narkoba, penembakan, pembunuhan, pamer kekayaan dan kriminalitas melahirkan kambing hitam baru pula atas ketidak-nyamanan rasa dalam pelarian kehidupan yang diderita.

Di jalanan semuanya membekas, laksana samurai berapi di aspal yang basah kesalahan dan kebenaran kejar-kejaran. Lampu merah pun menjadi saksi bisu keadaan. Geng motor, perampokan sadis dan razia merebak di mana-mana. Kampus dan sekolahan risau dengan banyaknya tamu dari aparat yang masuk tanpa diduga. Pengendara motor dengan knalpot racing ditilangin, sementara penjual serta yang memproduksinya bebas berfoya-foya, berbelanja apa saja, keluar dan  masuk Ramayana serta pusat pertokoan lainya.

Bagaikan sebatang pohon di sebuah lahan yang subur, sejarah dan kenyataan mencerminkan dirinya dengan leluasa. Kerimbunan daun dengan banyaknya ranting yang bertunas memaksa akar untuk melahirkan buah. Bila ini dijadikan patokan dan pola laku atas tindakan dan ukuran bagi penentuan kesalahan dan kebenaran, maka inilah baru yang bisa di terima. Tapi, banyak kenyataan yang membuktikan perihal sanksi dan hukuman yang terjadi hanya bermain di ranting-ranting, tak pernah melihat dahan dan pokoknya. Apalagi akar yang sesungguhnya.

Bagaikan parasit di sebatang pohon meski hina tapi bermakna. Kadang jadi obat bagi penderita. Jika hal semacam ini dilakukan aparat penegak hukum negeri ini, terhadap masyarakatnya sendiri (Bukan orang asing) berdasarkan kepentingan tertentu, hal ini sangatlah keji. Apalagi dengan caranya yang parasit serta menyalahi aturan main dalam melakukan tindakannya. Ya, ketika ini dianggap biasa, lama kelamaan rakyat akan tetap binasa. Penjual kayu ditangkapi dan penebang hutan tak masuk terali, para pemabuk masuk bui sementara yang memproduksinya lega-lila sambil berjudi tingkat tinggi.

RoKe’S, 16 April 2015

Share:
spacer

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI