Ibu Kebudayaan

(ill: body dharma)
Oleh Irman Syah

Ada yang mengganjal dalam hati bagi setiap orang yang cinta kepada negeri, kaum, suku (marga) atau  kelompok kehidupan, beserta dengan adat dan tradisinya tentang persoalan yang tengah menggejala dalam kenyataan hidup di dunia kekinian. Perubahan yang amat drastis disebabkan dampak modernisasi sangat terasa, baik pada sisi kehidupan sosial atau tatanan tradisi yang berlaku sebelumnya.

Pada sisi baiknya, alam pemikiran manusia berkembang dan sampai pada tahap kemampuan personal yang diakui karena memang dapat dilihat dan dijelaskan sebab dan kemungkinannya. Di sisi lainnya juga terdapat banyak hal yang membuat kondisi dan tatanan hidup yang sudah tertata sebelumnya porak-poranda sehingga tak lagi ada kekuatan tatanan itu bagi kelayakan kehidupan.

Sebut saja kondisi sosial dalam bermasyarakat di kampung-kampung sebagaimana yang terjadi hari ini. Banyak di antara mereka yang telah kehilangan pegangan untuk bisa melakukan sebuah pengambilan keputusan dari tata-tertib yang pernah ada sebelumnya. Tata-tertib atas nama kebiasaan yang disebut tradisi yang berjaya di masanya itu telah terpencil dan dikucilkan

Tradisi itu lahir dari kehidupan manusia yang mampu menghidupi masyarakatnya. Atas nama kehidupan yang bergerak dinamis sesuai ukurannya maka tradisi menjadi berkembang pada tahap estetiknya yang lebih indah. Upacara dan kesenian menghiasi kelangsungan hidup mereka dengan semangat dan gerak kehidupan yang berjalan secara natural dan bersahaja.

Tersebab kelengahan dan keterpukauan pada kerlap-kerlip modernisasi yang begitu gencar diiklankan dari belahan dunia melalui perpajangan tangan media pendidikan, komunikasi, dunia informasi beserta dengan produk-produknya yang didukung penuh oleh pemerintah maka pandangan hidup begitu saja berubah. Banyak yang meninggalkan tradisinya karena merasa malu dianggap kolot. Semua berjalan dan berlangsun cepat tanpa bisa dihambat.

Rancangan modernisasi yang telah begitu kuat dengan design-nya yang terukur berdasarkan pemikiran yang telah dipersiapkan berdasarkan risetnya yang valid tampak begitu unggul dan mampu menjadi magnit kehidupan dunia. Negeri ini, yang nota-bene adalah pasar dunia yang besar tentu saja sasaran empuk dari niatan itu. Sarjana-sarjana bermunculan bak cendawan.

Bergairah memang. Kompetisi dan perkembangan melejit dalam kehidupan masyarakat negeri yan memang memiliki potensi besar untuk itu, ditambah lagi dengan alamnya yang mendukung dan memiliki peluang besar untuk dimanfaatkan dalam bentuk apa pun. Maka jadilah modernisasi diterima tanpa syarat di negeri ini. Semua senang, semua bangga dan semua mulai mengganti pakaian kehidupannya dengan yang baru tanpa ingat lagi rumah dan dapur atau sawah-ladangnya yang begitu luas.

Magnit modernisasi inilah pada dasarnya yang membunuh ibu kebudayaan. Keberagaman adat-istiadat dari beragam suku yang ada telah terabaikan begitu saja. Padahal masyarakat adat yang menghidupinya ini adalah nyawa kebangkitan kebangsaan yang melahirkan Negara Kesatuan Republik ini. Modernisasi yang telah mengikat gaya hidup masyarakat di wilayah medan magnit itu, akhirnya tertipu dan meninggalkan tradisinya begitu saja dengan serta merta dan lapang hati.

Begitu pula dengan bangunan pemerintahan negeri ini yang dengan sengaja atau tidak atas nama modernisasi telah pula tidak menyiapkan dasar kekuatan dan antisipasi yang sesungguhnya, yakni keberlangsungan kebudayaan. Kalaulah kehidupan tradisi dan tanahnya berdasarkan ketentuan ulayatnya tidak lagi berfingsi, kebudayaan apa lagi yang sesungguhnya diagung-agungkan negeri ini. Persoalan yang terjadi hari ini adalah jawaban yang tepat untuk semua itu.

Tak dapat dibayangkan, jika rumah-rumah adat yang dimiliki kaum di masyarakat persukuan itu hilang begitu saja, atau dihilangkan berdasarkan hukum negara dengan jalan menafikan hukum yang pernah ada di mata kehidupan mereka yang sesungguhnya, ditambah lagi dengan kehadiran HAM (Hak Azazi Manusia) yang salah kaprah. Apa jadinya kehidupan kebudayaan yang dibanggakan itu, sementara masyarakatnya tak lagi punya rumah, tak punya kaum, tak punya tanah, tak punya hak untuk melakukan hukum yang tepat bagi kehidupan bagi kaum mereka.

Kematian tradisi sebagai ibu dari kebudayaan adalah kematian kesenian dan aktivitas lainnya yang mengakar bagi kehidupan negeri. Tak ada lagi segelas air pelepas dahaga, selain mimpi-mimpi yang maya tak berguna. Sementara berkas-berkas tangis, duka, perkara, dan derita mereka yang terhimpun dalam berita acara pengaduan di Mahkamah Konstitusi negeri ini entah kapan pula mampu mengusap tangis asali kesedihan yang memaknai nilai manusia dan tradisinya dalam  kenyataan yang sesungguhnya tentang ibu kebudayaan mereka.

RoemahKehidoepan, 30 Oktober 2015



Share:
spacer

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI