Puisi yang Kehilangan Tuah

:Chairil Anwar Dituduh Bersalah (?)

Oleh Irman Syah

Apalagikah yang bisa jadi pedoman, atau setidaknya untuk dikenang jika kata-kata tak mampu lagi mengusung makna. Mengambang, bias, rumit, dan semakin tidak jelas pula arah tujuannya. Demikianlah kiranya puisi yang kini tak sanggup mengerucut pada untaian maknanya yang kuat sesuai dengan apa yang sesungguhnya dibutuhkan kehidupan.


Sia-sia akhirnya yang terus melanda. Hidup ini menjadi kian kering dan kasar, tersebab kata-kata telah menjadi hal biasa saja bagi manusia. Pergerakan ungkapan dan komunikasi menumbuhkan sesuatu yang bebal. Seseorang, begitu saja, sudah semakin terbiasa dengan kenyataan demikian, kemudian seorang lagi, dan seterusnya. Jika seseorang dimasuki dengan perumpamaan dan nasihat, kata-kata itu seakan melayang saja entah kemana. Prilaku sesudahnya tetap saja menjadi sedia kala.


Zaman berubah, modernisasi dipilih dan kemudian diklankan negara dengan tergesa, tradisi ditinggalkan begitu saja dengan lapang dada. Demikian pula dengan kemerdekaan, semua  berubah menjadi sesuatu yang amat indifidual. Jarak dan kebersamaan makin meruncing, hubungan antar keluarga saja bagai semacam orang lain. Apalagi dampak ekonomi dan jabatan yang berupa atribut-atribut itu semakin pula menggila dengan kepongahannya.

Semua ikut-mengikuti, tak ada yang berani menampik, karena yang demikian itu akan mempersempit gerak kehidupan. Yah, mengalirlah perjalanan waktu dengan jiwa manusia yang kering tanpa rasa bahasa, tanpa memikir sebab dan akibat yang nantinya bakal menimpa. Kota dan desa sama saja, semua terbius dan bergerak tergesa. Padahal dari sinilah sumber petaka, yang mencipta bala tanpa disengaja.

Sesungguhnya, karya sastralah yang mampu diharapkan untuk dapat mengetengahi persoalan, tapi lintas perkembangan komunikasi yang bebas, gerak karya yang tak berarah -- bisa jadi disebabkan sastrawannya tak lagi mampu menemukan tema baru yang bermanfaat dan tepat -- maka karya pun bermunculan bagai berita-berita saja layaknya. Hanya berupa cerita sambil lalu, atau bisa pula sekedar menyobek baju di dada, kemudian hilang sebab tak berguna. Dalam artian yang sesungguhnya, karya yang lahir hanya bercerita tentang dirinya yang mikro dan dengan segala keperihan dan kecongkakannya.

Andaikan Chairil Anwar masih hidup, barangkali dialah yang pertama akan merasa bersalah, karena temuan dan ulahnyalah yang menjadi salah satu penyebab kenapa perkembangan kesusastraan khususnya puisi menjadi begini. Dialah yang membebaskan karya, memerdekakan tradisinya berdasarkan pandangan baru dari zaman sebelumnya. Hal ini jelas dan terbukti bahwa itu sungguh belum bisa dikatakan berhasil. Begitu banyak dampak yang ditinggalkannya, meski sorak-sorai puisi bebas dengan kebebasan yang merdeka serta pujian yang begitu membahana di nusantara.

Tak dapat pula dibayangkan, apakah ini sebuah dosa? Chairil Anwar memang bersalah. Atas kesalahannya itu tentu saja dia takkan bisa meminta maaf: “Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d)”  -- tepatnya, daerahnya Chairil hari ini, dia -- “tak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata lagi.” Sementara, bengkalai kesalahan yang telah dia lakukan dan yang ditinggalkannya kini telah tumbuh semak belukar serta menjadi rimba kata-kata. Takkan mampu terurai lagi baik melalui  filosofi kelahiran sebuah karya atau telaahan kritik sastra macam apa pun.

Bila dilihat dari panorama penciptaan serta kelahiran karya puisi hari ini, dan atas kebebasan puisi yang telah diterobos Chairil Anwar, semua menjadi kebabblasan. Tak ditemukan lagi rangkaian kata yang kuat dan mengakar serta mampu menjadi spirit kehidupan dan kebudayaan pada kebanyakan puisi hari. Begitu banyaknya puisi yang lahir, begitu banyaknya buku kumpulan puisi yang bermunculan, begitu banyak pula penyair yang tersebut atas buku-bukunya, tapi tak sebaris-dua pun kata yang kukuh untuk bisa dipegang sebagai tiang yang mampu menjadi petuah kehidupan.

Berbanggalah penyair hari ini, kalian telah ber-bebas-ria dengan kata-kata. Bergembiralah  dengan pujian sesaat. Menepuk dada dan mengatakan bahwa telah berhasil menemukan kata, tapi sungguh pada dasarnya dan tanpa disadari, sesungguhnya kalianlah pembunuh kata itu sendiri. Kembalilah, cobalah eja lagi kata-kata yang diterbitkan, dari yang tertulis itu adakah termaktub di dalamnya hakikat beberapa petuah, petatah-petitih, syair, ibarat, gurindam, mutiara kata, atau ungkapan budi pekerti yang dimunculkan? Jujur saja, jangan bohongi diri sendiri.

Ayo! Mari tuding Chairil Anwar yang telah tiada, karena dialah yang membebaskan puisi dari pantun, dari syair, petatah-petitih, gurindam, ibarat, yang sesungguhnya akar dan ibu dari puisi itu. Salahkan dia, meski pun kata kritikus pendahulu itu dia berhasil menemukan format baru dalam penulisan puisi Indonesia. Siapakah yang mampu untuk membusungkan dada, maju dan  mengucapkannya dengan lantang?  Kalau tidak, janganlah mengaku penyair. Karena penyair itu cerdas dan piawai: tahu kilat, gelap dan terang, tahu di dahan yang akan menimpa, atau di ranting yang akan mencucuk.

Chairil Anwar itukah yang telah salah dan berdosa, atau cara pandang kebebasan dalam berkarya hari inikah yang mesti dicermati untuk diperlukan rujukan ulang? Jawabannya tentu di tangan dan hati penyair. Bukankah dalam Surat As-Syuaraa’ telah begitu utuh dijelaskan; dalil ungkapan dan kepastian. Penyairlah sesungguhnya yang mesti tahu dan paham. Bukankah dia setiap detik bergelut dengan kata, menjinakkan makna untuk kedamaian manusia.

Andai karya yang dilahirkannya membunuh petuah, pantun, gurindam, syair dan ibarat pada nilai dan hakikatnya, ya tentu saja takkan ada gunanya. Itu tulisan yang sia-sia. Lebih baik jadi wartawan atau kerja lain saja: bukankah sebuah karya puisi adalah ‘sebuah dunia’! Kalau saja masih tersisa lahan, jadilah petani; maknai tanah dan gemericik air, semaikan benih dan  pelihara kehidupan ditumbuhnya padi agar kemudian dapat dituai. Barangkali di sawah yang luas itu akan ditemukan ‘pandangan dunia’ hidup yang makro tentang nilai dan hakikat kata.

Sastra Kalimalang, 6 November 2015
Share:
spacer

2 comments:

  1. Zaman sekarang orang lebih suka degan puisi yang terlajang. Tampa harus meraba raba mencari makna nya puisi itu sendiri.

    ReplyDelete
  2. _Keseringan bermain di ranting-ranting, lupa pokok mengakar bumi_

    *petatah Petitih Urban*

    ReplyDelete

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI